Oleh Hermawan Kartajaya (71)
MENGAPA J.K. Rowling bisa begitu sukses menulis tujuh novel Harry Potter? Ide tentang buku dan karakter Harry Potter itu muncul ketika dia menunggu kereta api Manchester-London yang delay pada 1990. Lantas, kematian ibunya sendiri pada 30 Desember 1990 juga menginspirasi Rowling untuk membuat Harry Potter menjadi seorang yatim piatu yang merindukan kedua orang tuanya yang sudah tiada. Rowling sukses membuat Harry Potter menjadi tokoh bebas yang bisa mandiri.
J.K. Rowling memang tidak tanggung-tanggung dalam menciptakan karakter. Dia memikirkan penampilan fisik, juga pakaian khas, juga kepribadiannya yang selalu dipandu oleh hati nuraninya.
Kemampuan dan keterampilan magical-nya dipikirkan matang-matang. Mulai tidak tahu bahwa dia seorang Wizard sampai akhirnya dia bisa terus meningkatkan diri. Harta peninggalan dari orang tua pun diatur oleh Rowling. Bahkan, sampai akhirnya, ada silsilah yang dibuat supaya cerita tujuh seri itu menjadi sangat meyakinkan. Itulah yang dilakukan seorang penulis yang akan menciptakan sebuah karakter yang kuat seperti Harry Potter.
Lalu, apa analoginya dengan brand? Kalau mau sukses di era kini, brand mutlak punya karakter kuat.
Seorang CEO bertanggung jawab untuk corporate brand, seorang brand manager bertanggung jawab atas product brand. Seperti seorang presiden harus melakukan hal yang sama untuk sebuah negara. Susahnya, baik CEO, brand manager, dan presiden bisa berganti setiap saat.
J.K. Rowling konsisten dalam menulis tujuh novelnya. Dengan demikian, karakter Harry Potter pun bisa konsisten sesuai dengan imajinasinya. Sama dengan Harry Potter, sebuah brand juga ditentukan penampilannya: brand visual! Logo, slogan, corporate color, seragam karyawan, bahkan bentuk kantor dan kartu nama. Brand personality sangat penting. Hal itu juga harus tecermin bukan hanya pada iklan dan komunikasi pemasaran, tapi pada para staf, sikap, dan perilakunya.
Keterampilan dan kemampuan sebuah brand juga harus terlihat dari alur teknologi yang dipilih. Begitu juga capacity building yang dilakukan perusahaan untuk mengembangkan SDM-nya. Inilah yang disebut brand capability. Bagaimana dengan brand posession? Tentu saja, hal ini bisa diukur dari brand equity yang sudah terjadi setelah menjalani berbagai persaingan.
Dalam brand hierarchy harus ditentukan dulu siapa yang jadi parent brand dan siapa pula yang jadi child brand, subbrand, dan seterusnya. Semua itu akan diuji ketika sebuah brand bersaing seperti ketika Harry Potter mengalami berbagai percobaan dan tantangan. Sebuah brand bisa saja melakukan berbagai kampanye taktikal. Seperti Harry Potter ketika harus berinteraksi dengan berbagai karakter lain di cerita Rowling. Dari sanalah justru cinta dan loyalitas pembaca dibangun dan diperkuat, hingga tak kurang dari 11 juta novel -seri tujuh- ludes terjual dalam hari pertama peluncurannya.
Begitu seharusnya karakter sebuah brand dibangun. Build strong Character to build a strong Brand. Don't build a Brand without Character !
Bagaimana pendapat Anda? (*)
Sumber: Jawa Pos
No comments:
Post a Comment