Halaman

Saturday, October 13, 2012

Peradaban Baru AirAsia

Oleh Hermawan Kartajaya (59)

Dulu orang marah pada sistem pembelian tiket online dari AirAsia. Selain sulit memercayai sistem pembelian yang aneh itu, juga belum terbiasa membeli tiket, lalu mencetaknya sendiri. Itulah cikal bakal co-creation.

Tapi, yang lebih menjengkelkan, harga tiket sangat beraneka ragam, mulai yang paling murah hingga yang paling mahal, padahal untuk satu tujuan penerbangan. Semuanya bergantung waktu pemesanan dan pembayarannya.

Pada dasarnya, terutama di Indonesia, orang belum terbiasa berurusan dengan mesin.

Lima persen pertama, kursi dijual dengan harga sangat murah. Bisa-bisa lebih murah daripada variable cost. Untuk lima persen berikutnya, harga mulai sama dengan variable cost.

Berikutnya, kursi dijual di atas variable, tapi belum besar kontribusi marginnya. Berikutnya lagi, mungkin harganya sama dengan total average cost. Dan sisanya benar-benar bisa memberikan sumbangan pada penutupan biaya overhead.

Susahnya kalau mau ganti flight yang hangus, termasuk tidak boleh dipakai orang lain. Sekarang orang sudah biasa dengan peradaban baru AirAsia itu. Bahkan, regular airline seperti Garuda Indonesia pun punya berbagai harga dengan fasilitas masing-masing.

***

Orang sudah tidak menggerutu bila beli tiket suatu penerbangan, duduk berjejeran, tapi harganya lain. Itu sebuah ilustrasi sederhana saja bahwa price sudah jadi currency. Dulu price selalu ditentukan dengan memperhatikan cost, value to customer, dan harga pesaing. Lantas, ditentukanlah profit margin yang hendak dicapai. Selain itu, tentu saja harga juga ditentukan oleh product life cycle. Juga masih ditentukan oleh berbagai diskon yang situasional.

Sekarang semua itu masih berlaku, tentunya. Tapi, situasi berubah. Pelanggan dengan gampang membandingkan harga kita dengan pesaing. Termasuk membandingkan fitur-fiturnya. Pelanggan juga dengan gampang melihat atau mendengar komentar orang-orang terhadap suatu offering. Pelanggan juga dengan gampang membandingkan hal itu di antara para supplier dari seluruh dunia.

Karena itu, dengan semua situasi yang serbatransparan tersebut, kuncinya hanya satu: fairness. Customer akan membeli suatu offering dengan harga setinggi atau serendah apa pun as long as it is fair.

Di kasus airline tersebut, baik yang bujet atau reguler, sekarang orang bisa menerima harga yang begitu variatif karena dianggap fair. Dengan adanya internet, Anda bisa menikmati berbagai offering dengan gratis. Inilah yang disebut free marketing.

Orang bisa membaca berbagai majalah digital, koran digital, secara gratis. Meski hanya sebagian -kalau mau seluruhnya harus bayar atau berlangganan. Orang bisa mengunduh Apps dengan gratis, tapi yang bersifat dasar saja. Kalau mau lanjut, ya harus bayar lagi. Orang bisa mencari informasi apa pun secara gratis, tapi kalau mau lengkap harus beli.

Freenomics adalah suatu perhitungan yang bisa memperkirakan dari semua yang masuk gratis itu, berapa yang akhirnya mau bayar. Berapa pula break even point-nya. Tentu saja, kalau sampai gagal, tentu rugi. Tapi, bukankah penetapan harga secara konvensional juga mengandung risiko seperti itu?

Secara tradisional, orang menentukan harga tinggi dahulu, baru kemudian didiskon ketika mau menghabiskan stok. Tapi sekarang, umumnya orang diberi harga murah dulu, bahkan nol. Baru kemudian naik sesuai dengan kebutuhan.

Harga nol hanya diperlukan agar bisa connect dengan pelanggan. Sekali mendapatkan connectivity, maka bergantung kita untuk terus meng-engage mereka supaya bisa ter-upgrade. Seperti nilai sebuah currency yang naik turun harga pun begitu. Jadi, currency adalah fair-based pricing.

Bagaimana pendapat Anda? (*)

Sumber: Jawa Pos

No comments:

Post a Comment