Dianggap Gitar Hybrid, November Tampil di Spanyol
Dalam penelitian untuk penulisan skripsinya, mahasiswa Jurusan Sendratasik Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini menciptakan gitar 12 dawai. Pencipta gitar klasik ini diwisuda Minggu besok (21/10) di Surabaya.
Jalaluddin Hambali, Jombang
---
SEBAGAI mahasiswa jurusan sendratasik dengan mayor instrumen gitar klasik, Bayu wajib punya pengetahuan dan skill tertentu tentang gitar.
Saking seringnya bereksperimen dengan gitar akustik dan elektrik, suatu saat impiannya menciptakan gitar nilon 12 dawai pun lahir. ''Membuat gitar nilon 12 dawai merupakan tantangan besar bagi saya,'' kata Bayu.
Warga Jalan Airlangga, Kelurahan Jelakombo, Jombang, ini lantas menceritakan sejarah gitar. Untuk pengembangan gitar klasik paling fenomenal saat ini adalah gitar silent dan dilahirkan di Jepang. Konsep gitar silent di Jepang lahir karena tuntutan masyarakat yang didukung regulasi setempat. Yakni, tentang pengaturan polusi suara. Gitar silent dilengkapi dengan equalizer modern dan perangkat tambahan headphone. ''Gitar ini tak memiliki tabung resonansi. Konstruksinya mengacu ke gitar klasik.''
Yakni, perakitan antara bagian neck dan body dengan sistem diberi perekat sehingga bersifat permanen. Tapi, pada bagian konstruksi side body, gitar ini bisa dibongkar pasang. Tujuannya, lebih mudah disimpan.
Berbekal pengetahuannya hampir lima tahun kuliah di Unesa, Bayu lantas merancang spesifikasi gitar yang diimpikan itu. Yakni, berbahan solidwood mahoni, memakai perangkat elektrik, punya dua head di neck dan di bodi gitar. ''Untuk uji coba, saya bekerja sama dengan Dwi Prasmono, pembuat gitar asal Desa Candimulyo,'' tutur Bayu.
Untuk penelitian itu, Bayu membuat dua prototipe. Setelah jadi, Bayu melakukan uji coba dalam setahun terakhir ini ke sejumlah pembuat gitar dan musisi Indonesia. Pertama, Dwi Prasmono, pembuat gitar hand made asal Dusun Nglundo, Desa Candimulyo. Kedua, Engkos Perkasa, pembuat gitar hand made di Surabaya. Ketiga, Rama Ferian, pengajar gitar klasik di Studio Musik Purwacaraka Surabaya. Keempat, musisi gitar Malang Tri Andhika. Kelima, musisi gitar klasik Jubing Kristanto, Jakarta. Keenam, pembuat gitar klasik Hanief Palopo di Bekasi. Ketujuh, Ketua Jurusan Musik ISI Jogja Andre Irawan, dosen gitar ISI Jogja Rahmat Rahardjo, dan dosen gitar di ISI Jogja Royke B. Koapaha.
Dwi Prasmono mengatakan belum pernah membayangkan penciptaan karya tersebut. Apalagi, penciptanya merupakan warga Jombang. ''Gitar ini luar biasa meski masih membutuhkan beberapa perbaikan,'' komentar Dwi.
Engkos Perkasa mengkritik karya Bayu yang dianggap kurang presisi pada scale dan neck masih bisa dikecilkan agar nyaman digenggam.
Bahkan, Jubing Kristianto, musisi gitar klasik, menganggap karya Bayu sebagai gitar hybrid itu karena memadukan berbagai gitar. Contoh, secara konstruksi, gitar memakai konstruksi bolt on (biasa dipakai elektrik) dengan neck bisa dilepas dari bodi serta menggunakan perangkat elektrik (equalizer).
Umumnya, gitar klasik enam dawai memakai tabung resonansi. Untuk karya Bayu ini, tabung resonansi diganti equalizer untuk memodernisasi dan praktis dipakai.
''Agenda setelah wisuda ialah memproduksi prototipe dengan bobot lebih ringan, scale gitar dibuat lebih presisi, pembuatan tabung resonansi, dan mengecilkan neck agar nyaman dipegang.''
Mimpi Bayu berikutnya adalah kuliah lanjutan di luar negeri dalam bidang konsentrasi guitar making. Selangkah lagi mimpi itu akan tercapai. Sebab, Bayu telah mendapat undangan untuk tampil dalam pekan budaya Indonesia di Spanyol akhir November mendatang. (jpnn/c4/ib)
Sumber: Jawa Pos
Waah banggain Indonesia tuh:D
ReplyDelete