Halaman

Friday, October 19, 2012

Raka Bagus dan Bisnis Periklanan yang Kreatif

Lebih Suka Sedikit Klien

Tak banyak yang menekuni bisnis creative agency di Surabaya. Apalagi, bisnis tersebut belum dikenal di kalangan konsumen. Kendati begitu, Raka Bagus tidak surut langkah untuk mengembangkan creative agency lewat perusahaan bernama Skawan Creative Agency yang dirintis sejak 2009.

RESTU DISTIA, Surabaya

---

CREATIVE agency berbeda dari bisnis advertising atau percetakan. Bisnis tersebut tidak sekadar menawarkan desain menarik bagi perusahaan selaku klien, melainkan menawarkan nilai tambah bagi perkembangan bisnis itu sendiri.

''Sebagian besar orang beranggapan advertising itu tidak lebih seperti percetakan, orang mencetak billboard atau neon box,'' kata Raka Bagus, anak kedua di antara tiga bersaudara tersebut.

Dia menegaskan, yang dirinya tawarkan bukan semata-mata seperti anggapan orang itu. Memang, bisnis konsultasi ini masih jarang di Surabaya. ''Berbeda dari Jakarta karena sebagian besar industri berada di sana,'' urai Bagus.

Karena masih jarang klien, mau tidak mau dirinya harus jemput bola. Tak sekadar jemput bola, dia juga harus mengedukasi klien agar mereka mengetahui bahwa perusahaan agency seperti yang dirintis Bagus sangat dibutuhkan. Dia harus menjelaskan bahwa membangun merek itu tidak gampang. Perlu riset mendalam untuk menyiapkan strategi, menggali informasi tentang kompetitor, keunggulan produk, sampai track record marketing communication di perusahaan tersebut.

''Nah, dari situ, kita akan mengetahui pokok permasalahan, sehingga bisa mulai menggodok strategi yang tepat,'' ujarnya.

Tapi, tak banyak klien yang sabar. Sebab, ketika membangun branding, perlu waktu lama. Setidaknya setahun. ''Sedangkan mereka (klien, Red) minta dalam 1-2 bulan produk atau jasa itu laku dan langsung balik modal. Tentu itu tidak bisa,'' tegasnya.

Skawan berfokus menggarap creative agency sejak tahun kedua berdiri atau pada 2010. Sebelumnya, Bagus bersama empat temannya sebatas mengerjakan desain produk dan belum berpikir panjang sampai menyiapkan strategi. Sebab, menurut dia, awal-awal usaha, dirinya harus berusaha keras untuk bisa survive lebih dulu, terutama menyangkut kemampuan finansial perusahaan. Menginjak tahun kedua, baru dia berfokus menjalankan creative agency.

Bisnis Bagus tidak menangani perusahaan yang sudah berkembang saja. Mereka juga menggarap perusahaan-perusahaan anyar. Misalnya, memberi masukan soal penamaan. Nama usaha, kata dia, sangat penting untuk menggaet konsumen. ''Ada klien punya produk, tapi dari segi nama sulit diucapkan dan tidak friendly. Kadang, mereka mencomot nama anak untuk dijadikan nama produk. Selain itu, asosiasi nama terhadap fungsi produk harus pas,'' ujarnya.

Ketika nama, desain, hingga pengemasan sudah tuntas, lanjut Bagus, klien harus paham cara memasarkan. Dirinya pun pernah punya klien yang ingin membangun branding, tapi tidak memiliki sistem distribusi yang bagus. Akhirnya, produk itu percuma karena konsumen tidak bisa menemukan di pasaran.

Hingga sekarang, jumlah klien Skawan sudah lebih dari 20 perusahaan. Tiap tahun mereka menangani 10-15 proyek. Tapi, prinsipnya, Bagus justru lebih suka menangani 2-5 klien per tahun. Tapi, itu tidak termasuk klien dengan skala ritel. Artinya, yang hanya pesan desain poster maupun packaging. Menurut dia, klien yang sedikit itu hanya untuk mereka yang menyepakati kontrak pembuatan strategi, desain, sampai komunikasi.

''Secara jumlah, klien sedikit. Tapi, mereka melakukan repeat order, sehingga impact ke klien lebih tepat,'' katanya.

Hasil itu, ungkap Bagus, akan berbeda ketimbang perusahaan yang setiap melakukan program memanggil konsultan yang berbeda. Secara branding, itu tidak akan mengena. Sebab, tiap-tiap vendor konsultan punya persepsi berbeda, sehingga tidak tercipta sebuah sinergi. ''Kami selalu mengadakan survei kecil-kecilan pada akhir tahun. Itu dilakukan untuk mengetahui apakah brand awareness tersebut tercapai atau tidak,'' terang dia.

Bagus enggan membuka tarif servisnya. Sebab, kebutuhan dan kemampuan tiap klien berbeda. Kendati sudah ada tarif standar, tak jarang dirinya harus menyesuaikan dengan bujet klien. ''Sejak berdiri sampai sekarang, omzet kami sudah naik 4-5 kali lipat. Karena itu, mengapa kami bertahan menekuni bisnis ini. Bahkan, kami sudah berencana membuka kantor di Jakarta dan Bali tahun depan,'' urai dia.

Sejalan dengan rencana itu, Bagus akan menambah karyawan untuk ditempatkan di dua kantor baru tersebut. Jumlah karyawan yang direkrut pun tidak terlalu banyak. Sekarang saja, jumlah karyawannya hanya 12 orang. Menurut dia, bisnis creative agency tidak memerlukan banyak orang. Kalau terlalu banyak orang, malah tidak bisa fokus. ''Sebab, kita butuh orang yang banyak mikir. Membuat desain itu harus mikir, tidak sembarang mendesain tapi ternyata tidak bisa diproduksi,'' tegasnya. (*/c5/dos)

Anak Agung Raka Bagus

Orang tua: Anak Agung Gde Bagus Wija dan Indahjati

Saudara: Anak Agung Gde Rai Adiputra dan Anak Agung Ayu Krisnina Saraswati

Istri: Annisa Pratiwi

Lahir: Surabaya, 12Juni 1981

Pendidikan: SDN Margorejo 1 Surabaya

SMP 6 Surabaya

SMA 4 Surabaya

Institut Teknologi Sepuluh Nopember (Interior Design)

Fachhochschule Muenster (Graphic Design, spesialisasi Corporate Design)

Pekerjaan: Managing director Skawan Creative Agency

Arti Skawan:

Skawan adalah modifikasi kata sekawan, bahasa Jawa yang berarti empat. Sebab, di awal pendiriannya, bisnis itu digawangi empat orang. Rencananya, bisnis tersebut akan dibuka di Bali, tempat yang banyak orang asingnya. Karena itu, mereka memilih nama yang tak sulit diucapkan orang asing, tapi tetap punya unsur etnik serta tidak punya asosiasi yang buruk. (*)

Proyek yang pernah digarap Skawan Creative Agency:

- Bank Jatim (creative strategy and redesign logo)

- Sony Sugema College (redesign logo)

- Banking Strategic Learning and Deins (logo and design)

- PT Kitosindo International Biotech (naming and packaging design)

- PT Arto metal industri (naming and strategy)

- WWF (mobile application seafood guide)

- My Cantik Collection (branding and strategy)
---------------------------------------------

Disiplin lewat Fingerprint

BAGI pebisnis pemula, mesin absensi fingerprint bukan termasuk kebutuhan primer. Tetapi, pemikiran Raka Bagus tak seperti itu. Ketika pertama bergabung dengan empat temannya, dia menerapkan disiplin yang ketat. Caranya adalah lewat pembelian mesin fingerprint.

Bagus bercerita, dirinya dan teman-temannya harus berpindah dari satu rumah ke rumah teman yang lain untuk mengembangkan bisnis. Mereka akhirnya bisa menyewa lantai dasar di sebuah ruko berlantai tiga. ''Sejak awal diajak mereka, saya berpikir bahwa akan bekerja dengan orang yang sudah profesional dan disiplin. Sebab, menjalankan suatu usaha bukan main-main lagi,'' kenang dia.

Ternyata, perkiraan itu meleset. Kedisiplinan waktu mereka masih sangat rendah. Misalnya, janjian pukul 10.00 ternyata baru datang pukul 13.00. Bagus yang mengenal disiplin ketika berada di Jerman pun merasa tidak nyaman. Kemudian, dia memutuskan membeli mesin fingerprint. Yang terlambat didenda Rp 50 ribu. Kebetulan, saat itu dia pemilik modal terbesar dengan posisi sebagai direktur.

Tapi, meski ada denda, kawan-kawan Bagus tetap terlambat. ''Artinya, mereka memang tidak perlu uang,'' ungkap Bagus. Di tahun pertama bisnis, Bagus memutuskan mengembalikan modal kawan-kawannya itu plus profit. ''Saya memutuskan mengelola sendiri,'' tambah Bagus. Dengan demikian, pada tahun kedua, Bagus sudah merekrut karyawan baru.

Meski demikian, dia merasa memperoleh pelajaran yang dapat dipetik. ''Pertemanan tidak bisa digabung dengan bisnis. Kalaupun iya, harus ada peraturan yang jelas,'' katanya. Aturan itu meliputi penalti saat ada pelanggaran. Juga perlu ada pembagian tugas yang jelas. Disiplin masih ditegakkan hingga sekarang. Penggunaan mesin fingerprint masih berlangsung.

Bagus memang baru merasakan manfaat disiplin ketika berada di Jerman. ''Lingkungan di sana mengajarkan saya untuk terbiasa berdisiplin,'' tambahnya. Hampir empat tahun di Jerman, Bagus tidak hanya mengisi waktu untuk kuliah. Aturan yang membolehkan mahasiswa untuk bekerja paro waktu mendorong dia melamar pekerjaan. Mulai loper koran, berdagang di pasar, sampai bekerja di restoran cepat saji. ''Hasilnya lumayan, bisa ditabung,'' katanya, lantas tertawa. Menjelang berakhirnya masa perkuliahan, dia disibukkan dengan magang di perusahaan bidang desain grafis. (res/c6/dos)

Sumber: Jawa Pos

No comments:

Post a Comment