Halaman

Saturday, September 8, 2012

Bosan Jadi TKI, Sutatik Pulang Kampung dan Berbisnis Kuliner

Jawa Pos
Tgl 9/9/12

Belajar Otodidak, Andalkan Ceker Ayam Rasa Berbagai Negara

Empat belas tahun jadi TKI (tenaga kerja Indonesia) di Singapura membuat Sutatik bosan. Dia memilih pulang kampung saja selamanya ke Malang. Keputusan berani itu berbuah manis. Tatik sukses dengan usaha kulinernya.

IMAM NASRODIN, Malang

---

Kamis malam (5/9), suasana kafe Farah Khan di Jalan Brigjen Slamet Riadi Malang tampak dipadati pengunjung. Maklum, menu yang disajikan mampu menggelitik rasa penasaran orang yang melintas di sana. Misalnya, ceker ayam Inggris.

Di antara para pengunjung kafe, terlihat enam orang yang sibuk menyiapkan hidangan di sebuah meja panjang. Salah satunya berpenampilan berbeda meski tetap bersahaja. Begitu pula aktivitas yang dilakukan. Dia tampak sibuk meracik rempah-rempah dan sesekali minta tolong untuk diambilkan sesuatu. "Ada yang bisa dibantu, Mas? Atau ingin melihat proses memasak?" sapa perempuan itu ramah. Ternyata dialah Sutatik, bos kafe tersebut.

Nama Farah Khan yang diabadikan dalam bisnis kuliner itu ternyata punya sejarah bagi Tatik -sapaan akrab Sutatik. Dia pernah bekerja di salah satu perusahaan traveling milik Farah Khan, desainer internasional. Ya. Tatik memang cukup lama malang melintang bekerja di negeri mini nan kaya itu.

"Saya ngefans banget dengan Farah Khan. Beruntung ada orang yang menyalurkan saya bekerja di perusahaannya. Kesempatan itu langsung saya ambil meskipun tidak ada bekal pendidikan formal tentang perkokian. Saya belajar dari buku dan teman. Nama kafé ini juga saya ambil dari nama dia," tutur perempuan kelahiran 6 Maret 1981 itu berkilas balik tentang kehidupannya.

Bekerja pada orang top membuat Tatik berkelana ke sejumlah negara. Setiap tiga bulan dia pindah dari negara yang satu ke negara lain sesuai jadwal pihak perusahaan. "Seingat saya ada sekitar delapan negara yang pernah saya kunjungi. Saya ditugaskan jadi koki. Meskipun belajar otodidak, tapi saya ingat benar masakan khas dari negara yang pernah saya kunjungi," papar Tatik.

Toh, kendati dolar yang masuk ke dompet dan rekeningnya dirasa lumayan, perempuan kelahiran Blitar itu tak selamanya mau jadi TKI. Tatik yang sejak umur 16 tahun bekerja di Singapura itu mulai dilanda kejenuhan. Dia ingin mencoba tantangan sekaligus hidup baru.

Tepat pada Maret 2011 Tatik pulang ke Indonesia. Lalu pada bulan Juni dia menikah dengan Budi Waloyo. Nah, setelah menikah itulah dia bingung akan bekerja di mana. Karena tidak punya modal pendidikan formal sama sekali. Bahkan, nyaris tidak menikmati pendidikan formal. "Akhirnya, saya diskusi dengan suami untuk iseng-iseng buka kafe ini, tepatnya pada 15 Agustus 2011 tahun lalu. Tak diduga, respons masyarakat lumayan baik dan ramai," ujarnya.

Sukses yang didapatkan Tatik itu bukan tanpa cobaan. Dia pernah merugi gara-gara bahan baku usahanya dicampur oleh penjual ceker. Padahal, dia membeli dalam skala besar.

"Saat itu kami pikir semua pedagang baik, seperti di luar negeri. Jadi, kami buat stok agar tidak kerja dua kali. Tapi ternyata busuk karena dicampur. Ada dua kuintal bahan baku yang rusak. Akhirnya, sekarang kami beli yang fresh sesuai kebutuhan," ucapnya.

Ke depan, Tatik ingin mengembangkan usahanya dengan membuka cabang di tempat lain serta menambah variasi menu. Tapi tetap ada cita rasa khas Indonesia serta mancanegara. "Sebenarnya banyak yang ingin beli franchise, tapi saya tolak,'' tandasnya. Dia beralasan usahanya masih belum cukup umur untuk itu. ''Satu hari omzet bisa mencapai Rp 2 juta hingga Rp 3 juta," pungkas Tatik. (*/jpnn/ami)

No comments:

Post a Comment