Halaman

Tuesday, October 9, 2012

Mengenal Sesomo, 40 Tahun Jadi Dalang Wayang Potehi

Bermula Suka Nonton di Kelenteng Dekat Rumah

Sesomo asli Jawa. Pria kelahiran Surabaya 67 tahun silam yang tinggal di Desa Gudo itu piawai memainkan boneka potehi. Bahkan, hingga kini posisinya belum tergantikan. Setidaknya di sekitar Jombang, Kediri, Nganjuk, dan Mojokerto.

JALALUDDIN HAMBALI, Jombang

---

''SAYA belajar secara otodidak,'' tutur Sesomo. Semula kakek 16 cucu ini mengenal wayang potehi saat berusia 12 tahun. Saat itu Sesomo kecil tinggal di Pabean Cantikan, Surabaya.

Lokasinya dekat dengan Kampung Jepun yang kini menjadi Jalan Kembang Jepun. Di lokasi itu, pada sekitar 60-an masih terdapat sejumlah kelenteng.

Menggunakan bahasa Hokkian, Sesomo makin tertarik dengan potehi. Sebab, wayang ini berbeda dengan wayang kulit atau wayang purwo. ''Saya suka karena sering nonton di kelenteng dekat rumah,'' ungkapnya.

Ketertarikan Sesomo itu diketahui pemusik dan dalang potehi. Sesomo lantas berinteraksi dengan alat musik potehi. Satu set potehi berisi sekitar 160 karakter tokoh.

Kemampuannya teruji dengan mementaskan potehi ketika lulus sekolah sekitar 1962.

Untuk menyusun naskah, Sesomo bersusah payah mengambil materi dari berbagai buku. Pengucapan bahasa Hokkian Sesomo juga kental dengan dialek Suroboyoan.

Meski berbeda dengan yang dimainkan dalang kala itu, Sesomo dianggap memiliki kekhasan gaya. ''Harus banyak kreasi. Sebab, penonton akan gampang jenuh jika pertunjukan monoton,'' ujarnya.

Nah, suatu saat Sesomo bertemu Toni Harsono, ketua Kelenteng HSK Gudo.

Maesenas potehi ini punya banyak koleksi potehi. Apalagi, untuk memainkan potehi, dalang kerap menyewa.

Namun, oleh Toni biaya sewa potehi ditiadakan. Inilah yang membuat Toni populer di kalangan pedalang potehi.

Sesomo lantas sering ditanggap untuk di TITD HSK Gudo, tempat ibadah yang dikelola Toni.

Di kelenteng tertua di Jawa itu, Toni juga membentuk paguyuban Hok Ho An/Fu He An yang berarti rezeki dan keselamatan. Sebab, setiap ada peringatan hari raya untuk umat Tionghoa, kerap dipentaskan potehi. ''Setiap yang nanggap potehi, biayanya sekitar Rp 500 ribu per hari, selalu didoakan pengelola kelenteng agar tercapai keinginannya,'' papar Sony Gunawan, pengurus TITD HSK Gudo.

Di TITD HSK Gudo Sesomo bermain sejak 4 Oktober lalu. Setiap hari dia pentas dua kali, pukul 15.00 dan 19.00. Pentas itu atas pesanan orang tertentu.

Pentas potehi di Kelenteng Gudo dijadwalkan hingga 10 November mendatang. Pentas bulan ini untuk Peringatan Hari Sing Thian Dewa Kongco Kongtik Tjoen Ong (dewa utama di TITD HSK Gudo). Saat pentas Minggu (7/10) pagi, Sesomo mementaskan lakon Cap Pwee Lo Hwan Ong (18 Raja Pemberontak Dinasti Sui). Meski sepi pengunjung, Sesomo tetap bersemangat.

Seperti saat pentas Selasa sore yang hanya ditonton 10-an pengunjung. Padahal, pentas itu gratis. ''Ini sudah menjadi jalan hidup, akan saya lakoni,'' tutur Sesomo.

Praktis, hingga kini hampir 40 tahun Sesomo mementaskan potehi. Di luar pentas di Gudo, Sesomo kerap main di luar kota. Misalnya, Surabaya, Malang, Kediri, Jogja, dan Jakarta. (abi/c2/bh)

Sumber: Jawa Pos

No comments:

Post a Comment