Halaman

Monday, October 22, 2012

Perseteruan Pepsi dan Coca-Cola

Oleh Hermawan Kartajaya (69)

WALAUPUN lahir belakangan setelah Coca-Cola, Pepsi tidak pernah surut menempatkan diri sebagai challenger. Dulu Pepsi masuk pasar dengan harga yang sama, tapi ukurannya dua kali lebih besar.

Orang yang dididik bahwa soft drink adalah Cola oleh Coke akhirnya mau mencoba Pepsi yang rasanya sedikit lebih manis dan sodanya tidak terlalu keras. Begitu Coca-Cola mengatakan bahwa dirinya adalah brand global, Pepsi bikin kampanye nasionalisme. I'd Like to Teach the World to Sing merupakan lagu Coke yang menggetarkan dunia. Tetapi, Pepsi justru pakai triwarna merah-putih-biru sama dengan warna bendera Amerika.

Pepsi juga rajin pakai endorsement para selebriti, baik artis maupun olahragawan, untuk menunjukkan bahwa brand ini lebih muda dan dinamis. Tujuannya pasti, supaya Coke terlihat lebih tua dan statis.

Namun, Coke yang selalu memimpin market share di carbonated soft drink atau CSD justru memperkuat diri sebagai brand yang paling orisinal. Coke is the real Cola and Cola is the real CSD. Kampanye the real thing itu seolah memojokkan Pepsi sebagai brand yang unreal.

Tetapi, begitu masuk milenium baru, pasar berubah. Orang jadi sadar bahwa CSD kurang bagus untuk kesehatan. Terlalu banyak kafein, terlalu banyak soda, dan terlalu banyak gula.

Di Amerika sendiri, di mana kulkas-kulkas selalu menyediakan Cola, warganya ternyata menganggapnya sebagai pemicu obesitas. Orang lalu sadar akan kesehatan dan Coca-Cola pun meluncurkan Diet Coke dan Pepsi punya Diet Pepsi. Belakangan Coca-Cola mengeluarkan Coca-Cola Zero yang kayak Diet Coke tapi rendah soda.

Pertempuran dua brand besar ini berlanjut dengan akuisisi berbagai produk minuman lain yang lebih sehat, seperti energy drink, juice, dan air mineral.

Total market soda mulai turun setelah mencapai puncaknya pada 2004. Berlanjut dengan terjadinya krisis finansial di Amerika pada 2008. Obama jadi presiden dengan slogan: Change wecan believe in!

Nah, semangat inilah yang memacu Pepsi melakukan kampanye baru, maunya numpang pada Obama effect saat itu. Pada 2009 Pepsi menghentikan iklan yang ditayangkan di Super Bowl selama 23 tahun. Biaya USD 20 miliar yang biasanya hanya dipakai di satu event itu distop dan akan disebarkan dalam setahun 2010. Dalam bentuk yang sama sekali beda. Iklan yang bersifat legacy dihapus dan diganti dengan suatu upaya new wave secara radikal. Ternyata penjualan dan market share Pepsi turun pada 2010.

Bahkan, ketika upaya diteruskan pada 2011, ditambah dengan balik ke Super Bowl, hasilnya lebih jelek. Coca-Cola juga melakukan upaya new wave marketing, selain melanjutkan upaya-upaya legacy mereka, dan berhasil.

Pelajarannya? Bukan sekadar transformasi dari legacy ke new wave yang membuat berhasil. Tapi, kuncinya ada pada strategi itu sendiri.

Bagaimana pendapat Anda? (*)

Sumber: Jawa Pos

No comments:

Post a Comment