Halaman

Tuesday, October 23, 2012

Kelas Menengah Jamin Investor

JAKARTA - Jumlah kelas menengah yang terus tumbuh diyakini menjadi akar yang membuat Indonesia dipandang lebih sustainable dibanding negara lain di kawasan Asia. Jaminan atas tingginya permintaan terhadap konsumsi kelas menengah itulah yang membuat arus investasi asing tak ragu mengucur deras di tengah perlambatan perekonomian global. Investasi asing itu khususnya berasal dari negara-negara yang dianggap gagal mengelola pertumbuhan ekonomi seperti India.

Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Jogjakarta Tony Prasetiantono menyatakan, fenomena demand kelas menengah atau middle class di Indonesia merupakan sebuah peluang di tengah membanjirnya investasi asing.

Dia memaparkan, saat ini terdapat 56,5 persen penduduk middle class dengan konsumsi USD 2-USD 20 per orang per hari. Tentu angka tersebut jauh lebih besar dibanding komposisi kelas atas atau high class di Indonesia yang hanya 0,2 persen. Segmen high class memiliki konsumsi lebih dari USD 20 per orang per hari.Â

Secara lebih detail, Tony menjabarkan, penduduk dengan konsumsi lebih dari USD 6 per orang per hari mencapai 6,5 persen atau 16 juta orang. Sementara itu, penduduk dengan konsumsi lebih dari USD 4 per orang per hari mencapai 18,2 persen atau 45 juta orang. ''Fenomena kelas menengah Indonesia merupakan sebuah peluang besar di tengah ketidakpastian krisis global yang belum tentu akan mereda dalam 2-3 tahun. Apalagi, belum ada konsensus tentang perbaikan perlambatan perekonomian,'' tuturnya.Â

Moncernya performa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang didukung kelas menengah itu, terang Tony, menarik arus penanaman modal asing (foreign direct investment/FDI). FDI pun saat ini menjadi penyokong paling signifikan dan dinilai sebagai penstabil pertumbuhan ekonomi Indonesia. Bahkan, situasi ini diproyeksikan terus berlangsung positif hingga akhir 2012.

''Indonesia kini menjadi ladang investasi primadona yang mendapat limpahan banyak investasi dari perusahaan-perusahaan yang gagal menanamkan kapitalnya di India,'' tuturnya.

Terbukti, ujar Tony, perekonomian India yang mulai nervous dan rentan terhadap krisis itu diikuti merosotnya nilai tukar rupee dalam setahun, terutama dalam enam bulan pertama tahun ini. Tingkat inflasi India yang mencapai 10,4 persen dibarengi defisit APBN 5,7 persen terhadap PDB.

''Karena itu, kini hanya ada dua negara yang mendapat limpahan investasi besar. Pertama Tiongkok dengan outlook pertumbuhan 7,4 persen dan Indonesia 6,3 persen,'' jelasnya.

Direktur Eksekutif Bank Indonesia Pery Warjiyo memaparkan, pertumbuhan konsumsi rumah tangga diprediksi berada di angka 4,8-5,2 persen pada 2013. Angka tersebut lebih tinggi daripada asumsi pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada 2012 yang hanya 4,7-5,1 persen.

''Jika komponen tersebut dipertahankan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2013 bisa mencapai maksimal 6,7 persen. Naik 2 basis poin dibanding tahun ini yang diprediksi tumbuh maksimal di angka 6,5 persen,'' ungkapnya. (gal/c5/nw)

Sumber: Jawa Pos

No comments:

Post a Comment