Halaman

Monday, October 15, 2012

Marketing Entrepreneur

Rhenald Kasali

MINGGU lalu di Surabaya saya diminta Menteri Tenaga Kerja Muhaimin Iskandar dan Gus Ipul (wakil gubernur Jawa Timur) untuk bicara tentang kewirausahaan di atrium Plaza Surabaya. Di tengah-tengah pameran produk wirausaha Jawa Timur, saya kembali menyampaikan pentingnya bagi kita para mentor agar jangan memaksakan wirausaha produk.

Suka atau tidak suka, kewirausahaan yang sedang kita bangun adalah kewirausahaan tanah subur. Saking suburnya, produk apa pun bisa kita dapatkan di sini. Dan saking kreatifnya bangsa ini, apa saja bisa dibuat karya seni: manik-manik, batu akik, permata, emas, perak, kulit, buku, kayu, kain, besi... Pokoknya, Anda sebut sajalah, pasti ada.

Di negeri ini pula sampah bisa dijadikan lahan usaha. Bisnis preman juga bisa. Mulai yang halal sampai yang tidak. Dari yang tanpa risiko sampai berisiko tinggi. Kita semua memulai dari produk, yaitu "apa yang bisa kita buat" atau "apa yang akan menjadi produk usaha saya." Wirausaha produk mengurus banyak hal, banyak mata rantainya.

Dari bahan baku, lalu didesain, dicarikan kemasannya, dicetak, diorder, dibuat/diolah, dikumpulkan, dan seterusnya. Prosesnya panjang, berliku-liku, dan mungkin melibatkan banyak pihak sebelum sampai ke tangan pembeli.

Masalah Pokok

Anda tentu tahu apa masalah yang dihadapi wirausaha-wirausaha produk itu? Benar! Mereka kemudian akan mengeluh, "Pemasarannya bagaimana?" Kok, pembeli yang ditunggu-tunggu tidak datang-datang. Atau, "Kok, ternyata sulit menembus pasar?"

Jika diteruskan, daftar keluhannya semakin panjang. Mulai rugi, tertipu, merasa diperlakukan tidak adil, sampai seretnya penjualan. Itulah kewirausahaan produk. Wirausahanya fokus di mata rantai sisi sebelah kiri, fokus pada produk. Energinya habis di seputar produk. Begitu memasuki pasar, energi yang dibutuhkan akan sama besar, namun sudah terkuras di produk.

Dunia yang sedang berubah memang tidak sesederhana saat wirausaha muda kita masih anak-anak. Dunia masa lalu yang diwarnai oleh sistem usaha terpadu -mulai bahan baku, proses produksi, hingga pemasaran- sekarang sudah berakhir dan masing-masing memiliki jago sendiri-sendiri. Di sektor riset ada pelakunya, product development ada lagi, juga proses produksi dan pemasaran. Masing-masing sudah melepaskan diri dari satu mata rantai yang panjang.

Jadi, Anda harus memilih, ingin jadi wirausaha apa? Wirausaha produk atau wirausaha pemasaran. Wirausaha berbasis riset atau penelitian. Demikian seterusnya. Dan, karena Indonesia kaya raya, terbelenggulah kita pada produk. Mulai kerajinan sampai kuliner. Semua ingin dikerjakan sendiri meski pemasarannya sedikit.

Marketing Entrepreneur

Singapura adalah contoh negara yang tidak bisa mengembangkan wirausaha produk karena alamnya tidak mendukung. Mereka masuk ke kewirausahaan pemasaran, trading, keuangan, dan jasa-jasa lainnya. Produknya bisa dari mana saja, ya dari Indonesia atau dari Tiongkok. Dari Myanmar atau India. Semua ditampung, diperdagangkan.

Titik awal berpikirnya bukanlah produk, melainkan pasar. Pasar mau apa, lalu dibangunlah jaringan pemasaran dengan segala perlengkapannya. Mulai keuangan dan perbankan, branding dan packaging, sampai logistik. Setelah itu jadi, yang lain tinggal ikut.

Seperti jaringan ritel Carrefour atau Giant, mereka sebenarnya tak perlu modal besar. Produk-produk yang mengisi setiap rak jaringan ritel itu adalah titipan dari entrepreneur produk yang dibayar kredit di atas 30 hari. Pemilik-pemilik produk itu pun dikenai berbagai biaya untuk sewa tempat, rak, promosi, dan seterusnya.

Seorang tukang kue bercerita bagaimana dia berevolusi dari product entrepreneur menjadi marketing entrepreneur. Awalnya, mereka membuat kue di rumah, lalu dititipkan ke toko-toko. Lama-lama mereka punya pesanan rutin dan tidak bisa dikerjakan sendiri, lalu pesan kepada orang lain. Ternyata, pesan bisa lebih murah. Mereka mulai menyebarkan pesanan dan berhenti berproduksi. Lambat laun mereka bisa membeli toko di beberapa pasar. Tokonya menjadi tempat titipan dari berbagai pihak. Sekarang mereka punya dua toko di hampir setiap pasar tradisional di Jabodetabek, menguasai pemasaran.

Tahukah Anda, risiko menjadi wirausahawan produk ternyata lebih besar daripada wirausahawan pemasaran. Dan, saya kira inilah masalah terbesar kewirausahaan Indonesia. Ayo kawan muda, beralihlah menjadi marketing entrepreneur!

*) Guru besar FE Universitas Indonesia pakar bisnis dan strategi

Sumber: Jawa Pos

No comments:

Post a Comment