Budiman: PDIP Butuh Internal Demokrasi
JAKARTA - Bagi sebagian kalangan kader dan elite PDIP, sosok Megawati Soekarnoputri masih digadang-gadang untuk maju lagi dalam Pilpres 2014. Alasannya, sosok Mega masih menjadi magnet pemersatu di kandang banteng moncong putih.
Namun, Mega sudah mulai berpikir seribu kali untuk kembali menerima pinangan itu. ''Ibu Mega sudah terlalu capek. Itu yang saya dengar,'' kata anggota DPR dari Fraksi PDIP Budiman Sudjatmiko setelah diskusi Peluang Pemimpin Muda dalam Pemilu 2014 di gedung parlemen kemarin (22/10).
Menurut dia, Mega memang tidak pernah mengungkapkan kegelisahan tersebut di forum terbuka. Tetapi, dalam sejumlah agenda internal partai, Mega pernah menyampaikan unek-unek itu. ''Beliau risi. Beliau bilang aku sudah tua, sudah berkali-kali (maju jadi capres, Red). Masak kalian rela aku kalah lagi untuk kali ketiga. Kurang lebih begitu. Saya menangkap, Megawati berpikir regenerasi dan kaderisasi,'' ungkapnya.
Keputusan Kongres III PDIP di Bali, April 2010, yang dipertegas melalui tiga rakernas telah menyerahkan keputusan soal capres 2014 kepada Mega selaku ketua umum. Meski begitu, Budiman menegaskan bahwa Mega tidak pernah menutup kemungkinan munculnya alternatif capres lain dari internal PDIP. ''Berulang-ulang Ibu Mega menyampaikan, para calon pemimpin nasional dari PDIP harus memiliki karisma, mau turun ke bawah, dan menghayati ideologi Pancasila,'' tegasnya.
Mengapa sampai saat ini belum muncul alternatif nama bakal capres dari PDIP? Budiman beralasan pilpres masih lama. ''Insya Allah dalam rakernas mendatang, sekitar enam bulan lagi atau pada 2013, persoalan ini akan kami dorong. Saya tidak sendirian, banyak yang lain. Saya pikir Pak Taufik (Taufik Kiemas) juga setuju,'' ungkapnya.
Dalam menentukan capres 2014, Budiman percaya bahwa Mega akan berpikir rasional. Tidak ada kader yang diperlakukan istimewa. ''Anak emas bukan tipe Megawati. Intinya, siapa pun tidak boleh minder atau terlalu ge-er,'' katanya. Selain itu, lanjut anggota Komisi II DPR tersebut, Mega senantiasa merespons dinamika eksternal.
Budiman sendiri berpandangan, PDIP memang harus membuka ''pori-porinya'' untuk menyerap aspirasi masyarakat. Dalam konteks penentuan capres, konvensi menjadi salah satu pilihan. Tetapi, itu bukan keharusan. ''Yang jelas, harus ada internal demokrasi dalam partai untuk merekrut pemimpin karena kita bicara 240 juta penduduk,'' tegasnya. ''Saya masuk partai (PDIP) akhir 2004. Dan, saya percaya momentum untuk perubahan sudah tidak lama lagi,'' imbuh Budiman.
Dalam diskusi, Wakil Ketua Umum DPP PPP Lukman Hakim Syaefudin mengatakan, sejak mukernas di Ponpes Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, pada Februari 2012, partainya sudah memantau secara intensif sejumlah nama kandidat capres. Ada yang berlatar belakang parpol dan nonparpol. ''Malah tidak harus kader dari internal parpol sendiri,'' katanya.
Lukman menjelaskan, di internal PPP tengah berlangsung perdebatan tajam soal bagaimana melahirkan calon pemimpin nasional. ''Dasarnya proses demokratisasi itu harus tercipta,'' tegasnya.
Pengamat politik Valina Singka Subekti mengungkapkan, kondisi partai yang semakin oligarkis, pragmatis, dan personalistis akan sulit untuk menghasilkan pemimpin yang berkarakter. Karena itu, partai-partai harus dipaksa untuk menjalankan mekanisme rekrutmen internal. Dia menyarankan mekanisme konvensi di Partai Golkar zaman Akbar Tandjung. ''Mengapa ketua umum (Ketum) otomatis jadi capres? Kan tidak harus begitu. Konvensi mestinya membuka peluang untuk semua kader-kader partai,'' katanya.
Menurut dia, Ketum partai seharusnya lebih diposisikan sebagai manajer supaya partainya bisa berkembang profesional. Konsentrasinya adalah bagaimana membangun sistem internal partai supaya lebih maju. ''Sekarang ini Ketum partai jadi menteri atau capres. Soalnya, sumber daya politik dan ekonomi dimiliki orang yang sama,'' sindirnya. (pri/c7/agm)
Sumber: Jawa Pos
No comments:
Post a Comment