MALANG - Kota Malang terancam ''tenggelam'' pada 2030. Hal itu berdasar hasil kajian risiko dan adaptasi perubahan iklim yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) RI selama satu setengah tahun terakhir ini.
Kajian itu menyebutkan, 80,23 persen dari luas wilayah Kota Malang 110 kilometer diprediksi terendam banjir. Itu terjadi karena curah hujan tinggi, tapi serapan air minim.
Indikatornya, di Kota Batu sebagai daerah hulu Sungai Das Brantas telah terjadi alih fungsi lahan. Awalnya hutan lindung, kini sudah menjadi lahan pertanian.
Hal itu diperparah oleh semakin banyak berdirinya bangunan sehingga mengurangi daerah resapan air alias ruang terbuka hijau (RTH). Akibatnya, air hujan dari wilayah Batu dan Kabupaten Malang akan langsung terbuang ke Kota Malang sebagai daerah yang paling rendah.
''Apabila ini tidak segera ditangani, kami perkirakan pada 2030, sebagian besar wilayah Kota Malang akan tenggelam karena digenangi air hujan,'' ujar Emma Rahmawati, asisten deputi adaptasi perubahan iklim KLH RI, di sela-sela Lokakarya Integrasi Aksi Adaptasi Perubahan Iklim dalam Pengelolaan Sumber Daya Air Sungai Brantas di Hotel Savana kemarin.
Emma mengatakan, dalam kurun waktu 1980-an hujan masih tersebar di beberapa wilayah. Dengan begitu, curah hujannya masuk kategori rendah dan tidak menimbulkan banjir. Tapi, saat ini trennya hujan terjadi di beberapa titik sehingga curah hujannya tinggi. Akibatnya, hujan yang hanya terjadi dalam beberapa jam mengakibatkan banjir.
Prediksi KLH RI memang ada benarnya. Buktinya, dalam lima tahun terakhir, jika wilayah Kota Malang diguyur hujan beberapa jam, beberapa wilayah digenangi banjir. Misalnya, Jalan Galunggung, Jalan Sumbersari, Jalan Soekarno Hatta, dan Jalan Veteran.
Melihat fakta itu, Emma mendesak Pemda Malang Raya (Pemkot Malang, Pemkot Batu, dan Pemkab Malang) segera melakukan tindakan riil untuk mencegah terjadinya banjir. Terlebih lagi, Pemkot Batu. Sebab, daerah tersebut merupakan daerah hulu Sungai Das Brantas. ''Skala prioritas daerah hulu yang harus dibenahi. Baru setelah itu berjalan perlahan-lahan ke hilirnya,'' ucap alumnus ITB itu.
Adapun caranya, kata Emma, Pemkot Batu dan Pemkab Malang harus memberikan pemahaman kepada masyarakat agar mengembalikan fungsi hutan lindung. Solusinya, masyarakat harus diajak menanamitanaman yang menghasilkan, tapi juga memiliki fungsi sebagai hutan yang melakukan serapan air. Salah satu di antaranya, tanaman kopi.
Dengan demikian, keinginan dua pihak terakomodasi. Selain itu, perlu menggalakkan reboisasi untuk hutan yang gundul.
Untuk Pemkot Malang, harus melakukan penataan bangunan, sumur resapan (biopori), membuat RTH, dan menata saluran irigasi. ''Ini semua saling berkait. Makanya, tiga Pemda Malang Raya ini harus bersinergi dalam menanggulangi perubahan iklim ini,'' kata Emma.
Tak hanya itu. Pemda Malang Raya juga harus memikirkan adanya embung atau waduk. Itu diperlukan agar air hujan dari Sungai Das Brantas tidak terbuang sia-sia ke laut, tetapi bisa ditampung di waduk atau embung. Dengan begitu, air bisa dimanfaatkan ketika musim kemarau. Misalnya, air untuk mengairi sawah sehingga tidak terjadi kekeringan.
Apalagi, berdasar laporan dari pengelola Das Brantas, 80 persen air Sungai Das Brantas langsung terbuang ke laut. ''Ini kan patut disayangkan. Air yang mestinya bisa ditampung terbuang sia-sia,'' ucap Emma.
Dia juga mengatakan, pengalihan fungsi lahan dan pembangunan rumah juga mengakibatkan perubahan iklim di Malang Raya. Dalam 25 tahun terakhir, iklim di Malang Raya meningkat 0,69 derajat Celsius. Rata-rata suhu udara di Kota Malang saat ini dikisaran 25 derajat Celsius. (gus/jpnn/c4/ib)
Sumber: Jawa Pos, tgl 15/9/12
No comments:
Post a Comment