Oleh Hermawan Kartajaya (72)
BANYAK perusahaan yang mengubah customer service department-nya menjadi customer care. Ini memang lagi tren. Tapi, bila ditelusuri, tidak ada perubahan habit yang sangat signifikan di perusahaan menyangkut perubahan nama departemen itu.
Brand, service, dan process adalah tiga elemen marketing value. Maksudnya, brand itu baru bisa melakukan value creation ketika ada customer service yang dirasakan customer.
Kenapa? Sebab, dipercaya bahwa service yang baik akan menimbulkan customer loyalty. Pelanggan akan balik terus untuk melakukan repeat buying dan bahkan up-buying kalau mereka puas. Jadi, konsep customer service akan menghasilkan customer loyalty melalui customer satisfaction.
Kepuasan baru akan ada kalau ada quality, cost, dan delivery process (QCD) yang makin bagus. Quality meningkat, cost bisa diminimalkan, dan delivery-nya bisa makin real time. Proses bisa di-reengineer supaya ketiga hal itu bisa terjadi. Dengan demikian, ada rangkaian yang jelas antara brand dan service serta process.
Ketika brand harus didukung character supaya sustainable, service pun harus jadi care. Seperti brand dan character yang saling mendukung, begitulah service dan care.
Care adalah character-nya service. Karena itu, sering disebut, care adalah service with character. Service tanpa character adalah lip service. Yaitu, service yang ada di mulut, tidak berasal dari hati, apalagi punya spirit internal.
Kalau service adalah pelayanan, care adalah kepedulian. Pelayanan dilakukan oleh seorang pelayan kepada tuannya. Tapi, kepedulian adalah dari seorang teman kepada teman yang lain. Pada pelayanan, hubungan antara pelayan dan yang dilayani seringkali disebut sebagai hubungan seorang abdi dalem dan rajanya.
Kekuasaan seorang raja itu absolut. Ucapannya adalah undang-undang yang harus dipatuhi. Raja juga bisa berbuat seenaknya walaupun dia bisa jatuh lantaran kudeta.
Tapi, kekuasaan customer tidak boleh absolut. Juga tidak harus selalu dituruti.
Customer is not always right, bahkan customer is often wrong. Kemampuan pelanggan juga terbatas untuk membeli sebuah service. Pendapat customer is king, apalagi customer is god, hanya berlaku pada era legacy yang vertikal, eksklusif, serta individual. CARE is not the old SERVICE wine in the new bottle! Sebab, begitu kita mulai peduli kepada customer, kita harus benar-benar mengembangkan hubungan sebagai teman.
Konsekuensinya? Kadang-kadang, kita tidak bisa atau tidak mampu memberikan kepedulian itu sendiri. Karena itulah, perlu collaboration dengan pihak lain supaya proses penyempurnaan QCD bisa menghasilkan suatu TRUE CARE.
Outsourcing sering dilakukan untuk menyempurnakan QCD. Lihat saja bagaimana bank meng-outsource pekerjaan khusus mencari calon pemegang kartu kredit. Lebih banyak dan bagus prospeknya, lebih efisien dan lebih cepat, karena perusahaan outsourcer itu memang berfokus pada tugasnya.
Kerja sama dengan pesaing bahkan tidak tabu untuk dilakukan di industri hotel. Kalau ada pelanggan loyal yang datang mendadak, bisa saja dioper ke hotel pesaing. Bahkan, inovasi untuk membuat produk baru demi kepedulian pada pelanggan sudah sering dilakukan oleh external researcher.
Tanpa collaboration, care yang sesungguhnya sulit terjadi. Yang penting, semua itu harus dilakukan secara skin level. Jadi, brand-service-process mustinya telah berubah jadi character-care-collaboration.
Bagaimana pendapat Anda? (*)
Sumber: Jawa Pos
No comments:
Post a Comment